Belum genap satu tahun saya menyambung hidup di ibukota, kadang biasa saja, lebih sering rindu kota jogja. Dulu saya sempat menghindari untuk tinggal di jakarta, karena sering mendengar keluh kesah teman sejawat yang sudah lebih dulu mengais rejeki di kota metropolitan ini. Tapi apa daya, tuntutan karir mengharuskan saya mengikuti jejak mereka.

Pagi sampai malam, jalan raya di jakarta yang lebarnya dua kali jalanan di jogja masih belum bisa menampung ribuan kendaraan yang melintas. Klakson-klakson mobil dan motor ramai-ramai saling membentak, kadang memekakkan telinga. Wajah-wajah yang mengusung semua lambang kekotaan, angkuh, keakuan, manja dan kemaruk luar biasa. Seringkali tidak mempersilahkan orang untuk sekedar menyebrang jalan. Berbagai jenis kendaraan bisa dijumpai, dari yang sudah rongsok sampai yang tampil mengkilap yang mungkin bisa ditukar dengan rumah dua lantai.

Angkutan kota yang sudah lusuh dan terlihat sudah lelah sering tak mau mengalah, selalu menunjukkan aksinya sebagai raja jalanan, seraya menunjukkan pada penghuni jalanan lain bahwa merekalah yang punya jalan. Mobil-mobil yang berkilau berjalan dengan anggun seolah tak ingin disenggol yang lain, karena jika lecet sedikit biayanya tidaklah murah.

Sisi ruang batinku hampa rindukan jalan-jalan di kota istimewa, meskipun sepertinya kota budaya itu sudah mulai terbawa riuhnya kehidupan metropolitan. Semoga kota jogja tak hilang gemah ripahnya, menjaga keramahan disetiap jalannya, sebagai tempat untuk kembali pulang.